PENDAHULUAN
1.1 Kata Pengantar
Konflik yang terjadi di Indonesia pada 1998 tidak hanya terjadi di Ibukota, tapi juga di kota besar lainnya, seperti Surabaya, Solo, Medan, Lampung dan lainnya. Saya mengambil topic ini khususnya yang di Jakarta, karena hingga saat ini setelah 18 tahun terlewati, belum juga ada ketetapan oleh hukum di Indonesia.
Karena sudah menjadi rahasia umum, konflik yang terjadi pada 1998 tidak hanya merugikan satu-dua pihak tapi sebagai salah satu catatan kelam sejarah Indonesia. Saya mengambil lokasi di Jakarta, agar lebih terfokus dan tidak terlalu melebarnya pembahasan.
1.2 Latar Belakang
Konflik yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 atau kita dapat menyebutnya Tragedi Mei 1998, diawali dengan krisis moneter yang melanda Asia. Namun tidak hanya itu praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang merajalela di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Tragedi 1998.
Selain dua alasan di atas, banyak juga pendapat yang beredar dan dipercayai oleh masyarakat. Tidak hanya pendapat, pada akhirnya masyarakat dan mahasiswa pun membentuk komunitas untuk saling menguatkan sebagai korban atau keluarga/kerabat korban yang bertujuan untuk mengenang dan menuntut kejelasan atas Tragedi Mei 1998.
1.3 Rumusan Masalah
Pada tulisan ini, saya ingin mengetahui sejauh mana pendapat yang beredar dan dipercaya oleh masyarakat juga pemerintah, dan sampai mana penanganan/penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintah. Karena menurut saya Tragedi Mei 1998 masih perlu diselidiki dan ungkap sepahit apapun faktanya, agar masyarakat Indonesia dapat belajar dan semakin kaya akan sejarah Indonesia.
DESKRIPSI LOKASI DAN KONFLIK
2.1 Lokasi
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa konflik yang terjadi di Indonesia pada 1998 terjadi disetiap kota besar, namun dalam tulisan ini agar lebih fokus dan tidak melebar maka hanya akan membahas konflik yang terjadi di Ibukota Indonesia, yaitu Jakarta. Tercatat kerusuhan di Jakarta bermula dibagian barat yang selanjutnya melebar hingga seluruh Ibukota.
2.2 Konflik
Kerusuhan di Jakarta yang bermula di bagian barat sebagai pemicu kerusuhan di seluruh bagian Jakarta, di Jakarta Barat tepatnya di Universitas Trisakti terjadi penembakan pada mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi. Setelah itu terjadilah kerusuhan massal yang diduga adanya provokator untuk melakukan tindak kekerasan seperti penjarahan, pembakaran toko, rumah, kendaraan umum/pribadi.
Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dari beberapa kampus di Jakarta ini merupakan kecaman untuk Presiden Soeharto yang kembali terpilih untuk ke-7 kalinya. Pasalnya pada saat itu harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang, dan tuntutan mundurnya Presiden Soeharto mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.
Pola kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis, hingga yang terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan. Yang masih menjadi pertanyaan besar siapakah tokoh/kelompok/golongan yang menjadi provokator/pelaku kerusuhan yang memicu masyarakat untuk menjarah, membakar dan lain sebagainya. Padahal pada kesaksian yang didapat oleh TGPF banyak korban (yang mayoritas etnis cina) dlindungi oleh warga sekitar (“pribumi”).
Pada 23 Juli 1998 berdasarkan keputusan bersama menteri pertahanan keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita dan Jaksa Agung, membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin oleh Marzuki Darusman SH (Komnas HAM) dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13-15 Mei 1998.
TGPF terdiri dari unsur-unsur pemerintahan, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. TGPF melaksanakan tugasnya selama tiga bulan, yang berakhir pada 23 Oktober 1998. Penyelesaian tugas tim ini ditutup dengan Laporan Akhir TGPF yang merupakan dokumen faktual sebagai pertanggung jawaban TGPF.
Pada Laporan TGPF juga mencatat pola umum yang memulai kerusuhan dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain.1
Pelaku dari kerusuhan tersebut terdiri dari dua golongan, pertama masa pasif (massa pendatang), yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.
Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya. Sedangkan banyak juga massa pasif lokal yang berkumpul hanya menonton sampai akhir kerusuhan, namun sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran. Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri.
Kerusuhan yang terjadi tidak hanya melibatkan fasilitas umum, kendaraan dan lain sebagainya, namun ada juga tidak kekerasan seksual pada wanita, namun adanya kesimpangsiuran di masyarakat tentang ada tidaknya serta jumlah korban perkosaan timbul dari pendekatan yang didasarkan kepada hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban, ada/tidaknya tanda-tanda persetubuhan dan atau tanda-tanda kekerasan serta saksi dan petunjuk. Namun disisi lain, keadaan traumatis, rasa takut yang mendalam serta aib yang dialami oleh korban dan keluarganya, membuat mereka tidak dapat mengungkapkan segala hal yang mereka alami.
Laporan TGPF mencatat adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana, begitu juga perbedaan persepsi tentang adanya vakum kehadiran aparat keamanan dimungkinkan karena:
- Adanya kelemahan komando dan pengendalian yang berakibat pada ketidaksamaan, ketidakjelasan/kesimpangsiuran perintah yang diterima oleh satuan/pasukan di lapangan.
- Pemilihan penetapan prioritas penempatan pasukan pengaman sentra-sentra ekonomi dan perdagangan yang tidak memadai untuk dapat segara meredakan keadaan telah menyebabkan banyak korban, bertalian dngan kondisi keterbatasan pasukan di wilayah Jakarta serta dihadapkan dengan ekskalasi kerusuhan yang tidak mampu diantisipasi.
- Komunikasi antar pasukan pengamanan tidak lancar yang disebabkan oleh keanekaragaman spesifikasi alat-alat komunikasi yang digunakan, yang semakin dipersulit oleh banyaknya gedung bertingkat tinggi.
Sesuai dengan doktrin ABRI rakyat bukanlah musuh, sehingga secara hukum aparat keamanan tidak boleh mengambil tindakan berupa penembakan terhadap rakyat/masyarakat. Secara psikologi aparat keamanan menghadapi dilema untuk mengambil tindakan efektif oleh karena banyaknya anggota masyarakat dan adanya pasukan lain yang berada di sekitar lokasi.
Adanya perbedaan pola tindak dan bentrokan di lapangan, yang mencerminkan kondisi kurangnya koordinasi dan saling kepercayaan akan tugas untuk menghadapi tekanan arus massa yang besar.
Hingga saat ini terhitung sudah hampir 19 tahun lamanya tragedi Mei 1998, keluarga korban tetap tidak mendapat kepastian atas tuntutan mereka. Masyarakatpun seperti dibiarkan dengan kesimpulan sesat bahwa tragedi Mei 1998 adalah tumbal reformasi. Sebuah kehendak bersama rakyat untuk menumbangkan Orde Baru.
Walau begitu, saat wawancara (Kompas, 9/3/2017) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tidak hanya tragedi di Mei 1998 pelanggaran berat HAM di masa lalu juga meliputi kasus, Peristiwa 1965, Peristiwa 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-1998.
FAKTOR PENYEBAB
3.1 Faktor yang Mendorong Konflik
Sebelum terjadinya kerusuhan ditahun 1998, terjadi beberapa kerusuhan di Indonesia seperti pada tahun 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan pembantaian/pemberontakan di Indonesia, dan pada saat itu keluarlah Surat Perintah Sebelas Maret (supersemar) yang menjadikan Soeharto penerus kepresidenan.
Pada masa pemerintahan Soeharto, atau disebut dengan Orde Baru pembangunan Indonesia sangatlah pesat, PKI-pun telah dibubarkan juga terdaftarnya kembali Indonesia di PBB. Namun masa pemerintahan Soeharto yang Otoriter membuat resah masyarakat khususnya dikalangan mahasiswa, karena merasa dibatasi.
Yang akhirnya menimbulkan kelompok-kelompok kontra Presiden Soeharto. Anggota-anggota dari kelompok kontra pemerintah ini banyak yang hilang/diasingkan oleh pemerintah. Begitupun media massa yang dibatasi dalam penyampaian beritanya.
Pada pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru.
Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum tragedi Mei 1998 yang melahirkan reformasi, sebagai berikut:
- Krisis Politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya.
- Krisis Hukum dalam bidang hokum-pun, pemerintah melakukan intervensi. Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif).
- Krisis Ekonomi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per-dollar dan kenaikkan harga pokok dan listrik yang ditetapkan oleh pemerintahan.
- Krisis Sosial, Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah.
- Krisis Kepercayaan, krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketidak mampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan.
3.2 Pemicu
Pada sore hari tanggal 12 Mei 1998 terjadi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti yang sedang melakukan demonstrasi dan mendesak untuk melakukan demo di luar kampus. Hal ini menjadi pemicu awalnya kerusuhan besar di seluruh Ibukota.
Setelah penembakan terjadi, munculah provaktor-provokator yang mengadu-domba warga untuk melakukan tindak kekerasan. Sementara itu para mahasiswa tetap melakukan aksi di Ibukota, mendesak pengunduran diri Presiden Soeharto.
Melihat aksi-aksi tersebut, akhirnya pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Soeharto mengundurkan diri’. Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto.
Dan puncaknya, pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
DAMPAK TRAGEDI MEI 1998 DI JAKARTA
Adapun kerugian dan korban yang dialami pada tragedi Mei 1998 dengan kategori sebagai berikut:
- Kerugian Material, merupakan kerugian bangunan seperti toko, swalayan, rumah, mobil, motor, barang-barang lainnya yang dijarah dan/atau dibakar massa.
- Korban kehilangan pekerjaan, adalah orang-orang yang akibat ter/dibakarnya gedung atau tempat kerjanya membuat mereka kehilangan pekerjaan.
- Korban penganiayaan dan luka-luka, adalah orang-orang yang meninggal dunia dan luka-luka saat kerusuhan seperti penganiayaan, korban tembak dan kekerasan lainnya.
- Korban penculikan, adalah orang-orang yang diculik/hilang pada saat kerusuhan.
Karena sulitnya menemukan angka pasti dari jumlah korban dan kerugian dalam tragdei Mei 1998, berikut variasi laporan yang dirangkum dalam Laporan Akhir TGPF:
- Data Tim Relewan 1190 orang akibat ter/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka.
- Data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat.
- Data Kodam 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka.
- Data Pemda DKI meninggal dunia 288 dan luka-luka 101.
- Kekerasan Seksual, Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan oleh TGPF pada tragedi 1998, dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual. Sama hal-nya pada kategori sebelumnya sulit dipastikan jumlah korban akibat kekerasan seksual. Namun TGPF mencatat sebanyak 52 orang mengalami kekrasan seksual di Jakarta pada tragedi Mei 1998.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin menyatakan korban pemerkosaan saat Tragedi Mei 1998 masih memilih bungkam hingga kini. Mereka mengalami trauma luar biasa yang membuat mereka enggan bercerita kepada orang lain. “Mereka menyatakan agar jangan membicarakan kejadian itu lagi dengan mereka. Karena itu benar-benar mimpi buruk. Kalau mereka diminta cerita, pasti sedih lagi,” kata Mariana saat ditemui di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Senin (11/5). (Sumber: CNN Indonesia)
Lanjutkan membaca KONFLIK DI JAKARTA PADA TAHUN 1998